Selasa, 23 September 2014

Pendidikan dan pembentukan pola pikir




Heboh berita tentang berita yang tersebar secara viral di media sosial saat ini, membuat saya ingin ikut-ikutan komentar. Tapi di sini saya tidak ingin mengkritik melainkan berbagi pengalaman pribadi selama menimba ilmu di sekolah dasar.

Saya bukan anak pintar apalagi jenius. Bukan pula juara kelas kesayangan guru apalagi peraih medali emas olimpiade. Saya adalah golongan medioker. Golongan rata-rata. Golongan yang ada ataupun tidak ada tak akan berpengaruh terhadap kondisi kelas.

Ngomong-ngomong tentang perkalian, saya pertama kali menerima pelajaran itu ketika kelas 2 SD. Saat itu, kami dituntut untuk hafal perkalian 1 sampai 10. Teman-teman saya banyak yang berusaha menghafal, begitu juga saya. Apalagi ada ujian lisan perkalian di mana bagi yang tidak hafal akan mendapatkan hukuman. Minimal hukumannya adalah berdiri tegak di kelas.

Tapi, bagi yang berotak lemah seperti saya, menghafal adalah sesuatu yang mengerikan. Jadi, saya memutuskan berhenti untuk menghafal.

Dan bisa ditebak hasilnya, saya selalu kena hukum dan nilai matematika saya hancur. Hahahaha..

Perkalian yang saya hafal adalah perkalian 1, 2, 5, dan 10. Itupun bukan karena saya menghafal, melainkan karena hasilnya membentuk deret yg mudah untuk diingat. Contoh: perkalian 1 hasilnya 1,2,3,4,5,..,10.
Perkalian 5 hasilnya 5,10,15,20,.., 50.

Selanjutnya untuk perkalian 3,4,6,7,8,9 saya menggunakan logika sendiri yang didasarkan pada perkalian yg saya hafal.

Contohnya, jika ada soal 4 x 6 maka hasilnya adalah 4+4+4+4+4+4 =24.
Dan jika ada soal 6x4 hasilnya adalah 6x6x6x6=24.

Tidak praktis, rumit, dan bertele-tele. Hal itulah yang menyebabkan setiap kali ulangan, saya selalu telat mengumpulkan. Saya selalu menghitung penjumlahan tersebut di dalam otak saya. Hasilnya, beberapa kali konsentrasi saya buyar sehingga harus menghitung ulang dari awal. Tapi kabar baiknya, saya sedari awal tahu mengapa 6x4 hasilnya 24.

Setidaknya, cara seperti ini mengajari saya untuk berusaha berfikir objektif  ketika menghadapi berbagai macam permasalahan dan  menutut saya untuk mempelajari akar permasalahannya terlebih dahulu.

Perkembangan menyerap pelajaran saya lambat. Tapi tidak masalah. Toh saya tidak peduli dengan nilai. Saya juga tidak mengerti apa itu arti ranking 1. Sebagai catatan, saya mendaftar SD ketika usia saya baru saja menginjak 5 tahun. Dan kata ibu saya, saya termasuk anak yang telat bicara. Saya baru bisa bicara ketika menginjak usia 2 tahun.

Jadi, orang tua saya tidak marah ketika di raport saya ada tiga angka merah yang bertengger saat bagi raport kelas 1 catur wulan 1. Mereka cukup mahfum.

Saat saya kecil saya hanya akan melakukan sesuatu jika saya menyukainya.

Hal baik yang saya miliki ketika SD adalah saya bisa membaca selepas kelas 1 catur wulan 1. Jujur, dapat membaca adalah anugerah terindah dari tuhan bagi saya. Sejak itu beberapa buku saya baca. Itupun bukan buku pelajaran, melainkan cerita-cerita dongeng, majalah anak-anak, ataupun tentang kehidupan hewan. Kadang judul headline koran selalu saya baca. Selain itu, saya berhasil menamatkan komik misteri Petruk Gareng karya Tatang Suhenra sekali duduk.

Saya selalu membaca ketika saya bosan dengan pelajaran sekolah. Daripada saya frustasi karena saya sekolah hanya untuk membuktikan bahwa saya tidak bisa apa-apa dan juga selalu dihukum, maka lebih baik saya membaca.

Selain matematika, saya juga bodoh di pelajaran lain.

Saat pelajaran kesenian, Saya menggambar sebuah gunung dan mewarnainya dengan warna hitam. Padahal teman teman saya menggambar 2 buah gunung dengan matahari di tengahnya dan mewarnainya dengan warna biru. Dan kata mereka gambar saya jelek lagi salah. Mana ada gunung berwarna hitam.

Kadang saya menggambar mata, hidung & mulut saat menggambar matahari. Gambar yang selalu dicoret ibu guru dan beliau mengatakan bahwa gambar saya tidak masuk akal. Hasilnya, nilai terbaik saya di pelajaran kesenian adalah 6.

Pelajaran bahasa Indonesia juga sama, selalu dapat ponten kurang dari 7. Tata bahasa saya kacau & sulit dimengerti.

PPKN? Hahahaha.. nasibnya juga sama. Ceritanya ada soal pilihan ganda, saya lupa detilnya, tapi soalnya kurang lebih seperti ini:
Ibu pulang dari pasar dengan membawa banyak barang apa yang akan kamu lakukan?
A. Membantu ibu membawa barang.
B. Memanggil orang lain untuk membantu ibu.
C. Tidak melakukan apa-apa

Saya jawab B, karena yang saya tahu, setiap pulang dari pasar, belanjaan ibu cukup berat. Jadi saya akan memanggil kakak saya untuk membantu ibu, atau kakak sepupu saya yg sudah besar yang  saat itu tinggal menumpang di rumah kami.

Hasilnya, tentu jawaban saya salah besar karena jawaban yang benar adalah A.
***

Namun di balik apa yang saya ceritakan di atas, masih banyak hal menarik ketika SD dulu yang masih saya ingat. Walau dalam beberapa hal, ada juga momen yang tidak menyenangkan.

Saya tidak pernah mau menyalahkan guru. Guru-guru sudah mengajar dengan sangat baik [Semoga semua orang yang pernah mengajar saya mendapatkan pahala dan rahmat yang selalu mengalir dari Allah Subhanawataa'laa]. Hanya saja, saya berbeda dengan yang lain. Saya kurang pintar, jadi saya mencari jalan lain yang nyaman untuk saya.

Kadang jalan itu salah, dan kadang jalan  itu benar. Dan saya belajar untuk menerima apapun konsekuensi dari pilihan yang saya ambil. Saya pernah mengambil pilihan yang salah, yaitu menyontek dan langsung ketahuan. Saya pun menerima konsekuensi terburuk dari pilihan saya itu. Menghasilkan trauma yang membekas hingga kini. Saya sempat minder selama berbulan-bulan. Berjalan pun seperti anak babi yang berjalan tunduk. Saya mengurangi interaksi dengan orang lain, dan hanya bicara dengan sahabat-sahabat terdekat. Benar-benar  pelajaran yang berharga.

Pengalaman demi pengalaman yang saya alami membuat saya tidak terlalu memikirkan nilai. Keuntungan untuk tidak terikat dengan angka-angka adalah kita tidak takut untuk duduk di manapun ketika ujian. Jadi nilai saya sejak SD hingga kuliah selalu fluktuatif. Tergantung dari kemampuan saya menyerap pelajaran.

Saya pernah dapat nilai 4 di raport dan saya juga pernah dapat nilai 9. Saya pernah dapat nilai E, D, C, B dan A selama kuliah. Saya pernah dapat IP 2,3 dan saya juga pernah dapat IP nyaris 4.
--

Saya ingin mengatakan bahwa ada banyak hal-hal baik yang bisa kita dapatkan ketika kita menghargai sebuah proses. Ada banyak pelajaran yang dapat kita ambil ketika kita berjalan di jalan yang kita pilih. Dan tentu saja, dengan membaca akan memperluas cakrawala berpikir kita.

Banyak jalan menuju Roma. Banyak cara untuk menjadi taqwa.
1+1+1+0,6+0,2+0,2=4
2x2=4
2+2=4
3+2-1=4
((8÷2)^(1÷2))+ (sin(30))+((9^(1÷2))÷((100^(1÷2))÷(25^(1÷2)))) = 4

Banyak jalan. Dan jalan yang kita pilih tergantung dari kebutuhan kita.

Kita akan tahu kapan kita sebaiknya mengunakan 4x6 atau 6x4 saat kita membutuhkan hasil 24.

Dari keberagaman cara berpikir ini pula saya belajar untuk berani memiliki pendapat yang berbeda dan menghormati pendapat orang lain yang berbeda dari saya.

Proses demi proses itulah yang akhirnya akan membentuk idealisme dan kemandirian. Bagi saya prinsip hidup atau idealisme itu baik, selama tidak bertentangan dengan moral yang berlaku umum dan juga norma agama. Sementara, kemandirian membuat kita tidak ketergantungan dengan uluran tangan dan belas kasih orang lain.

Apa untungnya memiliki prinsip atau idealisme dan kemandirian?

Yang saya tahu idealisme dan kemandirian itu bukan faktor utama yang dapat menjadikan kita kaya, bukan penentu untuk membuat kita dapat diterima di perusahaan bonafit, tidak menjamin kita dapat naik jabatan, dan yang jelas akan membuat semakin banyak yang tidak menyukai kita.

Banyak yang mengatakan saya bodoh, kurang cekatan, lemah, tidak berguna, jelek, tidak gaul, sok alim, sok pintar, munafik, dll. Bahkan bagi yang merasa lebih kuat atau berkuasa, mereka mengatakannya langsung di depan wajah saya.

So what? Paling tidak saya masih punya kehidupan. Dan kehidupan saya tidak bergantung pada mereka. Hahahaha..

Yang jelas, beberapa keuntungan tidak bergantung pada orang lain adalah tidak akan ada yang bisa mengatur, menindas, atau membungkam kita secara sewenang-wenang.

Ketika ada orang yang coba mengintimidasi, maka kita masih punya pilihan untuk bersikap; lawan atau tinggalkan. Jangan pernah mau jadi korban intimidasi.

Ketika orang lain merebut  hak kita, maka kita masih ada usaha untuk merebut kembali. Bahkan saat di posisi kita lemah sekalipun.

Ketika disakiti, hati kita akan sakit. Tapi kita tidak akan dendam.

Hidup itu menyenangkan jika didasari pada prinsip saling menghormati, bukan karena saling berusaha mendominasi, pada prinsip sama rata  sama rasa, bukan karena salah satu takut terhadap yang lain.

Hanya kita yang tahu tentang diri kita sendiri. Sedangkan orang lain hanya menilai hasil akhir dari proses panjang yang kita jalani.

Dan yang pasti, ada  peran luar biasa dari  Yang Mahakuasa ketika kita berusaha dan dibarengi dengan doa yang tiada berputus.

Salam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar jika dirasa perlu

Adi Yuza