Aku rindu mereka.
Bertahun-tahun tak lagi bersama. Aku sekarang tak tahu seperti apa mereka. Meskipun terkadang berjumpa, namun rasanya tetap saja berbeda, Tak sedekat dulu lagi. Mereka temanku. Teman seperjuanganku dulu. Yang membuatku mampu melihat indahnya persahabatan karena Rabb-nya. Bersahabat dengan mereka, secara tak langsung mampu mengikat hatiku agar aku selalu istiqomah di Jalan Ini. Setiap melihat wajah mereka membuatku selalu selalu teringat pada Sang pencipta.
Masih teringat jelas di ingatan ini, saat-saat awal kebersamaan. Begitu polos, begitu ingin tahu, dan begitu bersemangat. Senyum dan tawa yang yang tulus ,Kebersamaan yang begitu hangat. Dimana secara tak langsung seolah mendeklarasikan, KITA BANGGA DENGAN ADDIN KITA, DAN KITA AKAN TETAP BERJUANG BERSAMA.
Akulah yang termuda, dan akulah yang paling terakhir masuk dalam barisan mereka. Semua berawal dari seringnya kami berkumpul bersama. Kekagumanku atas akhlak dan tingkah laku mereka lah yang membuatku merasa nyaman ketika aku bersama mereka.
Dulu setiap pagi sebelum kelas dimulai, bukan kelas yang kami masuki terlebih dahulu, melainkan mushola sekolah kami. Di sana setiap pagi kami menikmati sujud demi sujud tanda syukur kami. Tak lupa ayat-ayat cintaNya kami lantunkan sembari menunggu bel berbunyi. Dan mushola sekolah itulah denyut jantung dan nafas kami.
Masih ku ingat, bagaimana kakak-kakak kami mengajari kami. Terkadang lembut, terkadang begitu keras. Terkadang menyenangkan, terkadang sama sekali tak mengenakkan. Terkadang mendiskusikan ayat-ayat maupun kekuasaanNya di Sekolah, Namun tak jarang Rihlah kami lakukan.
Dan dari semua itulah, yang membuat kami semakin paham mengapa kami harus tetap istiqomah. Dari sanalah, kami tahu betapa begitu berbahayanya Ghowzul fikri, mengapa khalwat mesti kami hindari dan masih banyak lagi. Dari sana pula sehingga mata kami mampu terbuka, melihat Palestina dengan segala kenyataannya yang begitu jeri. Dan kami dapat Melihat kenyataan, bahwa Umat ini begitu tertindas di banyak tempat oleh kaum kafir la’natulloh.
Hingga akhirnya kami menyadari betapa pentingnya dakwah di sekolah kami. Meski terkadang, anggapan sebagai orang-orang sok suci disematkan kepada kami oleh mereka yang sinis dengan aktivitas kami.
Aku rindu sahabat-sahabatku. Rindu ketika kami Mabit di Mushola sekolah kami, rindu ketika kami makan bersama dalam satu nampan, rindu ketika kami mendengarkan Pemateri-pemateri yang tak lain guru sekolah kami, menjelaskan banyak hal yang belum kami ketahui. Rindu ketika kami Qiyamullail berjamaah dalam Temaram Cahaya. Dan rindu ketika kami riyadhoh sambil menghirup sehatnya udara pagi. Rindu ketika kami bersama men-tadabbur-i ayat-ayat qauli maupun ayat-ayat kauni Nya.
Sungguh aku rindu. Aku benar-benar merasakan persahabatan yang begitu bermakna. Persahabatan yang begitu berisi. Dan persahabatan yang begitu bermutu.
Namun ternyata, waktu jua yang menentukan. Seleksi alam memang ada dan benar-benar terjadi. Dan seleksi itupun terjadi pada kami. Masih teringat jelas di tahun terakhir kami. Satu persatu lepas, hingga kami terbagi menjadi dua kubu.
Sungguh inilah saat-saat yang sangat memberatkan. Dan yang paling mebuat ku sesak, aku tak mampu berbuat apa-apa. Memang kami masih sering bersama, kami masih sering berkumpul, namun dengan rasa dan nuasa yang sama sekali berbeda. Masih ku ingat mabit terakhir kami, kosong melompong tanpa makna. Sungguh, aku merasa tak nyaman ketika itu. Mereka Lebih banyak membicarakan masalah cinta monyet dari pada saling berbagi tausyah. Pemateri yang biasanya ada, diganti dengan menelpon entah siapa. Qiyamullail labas. Dan yang miris, kami tidur pada dua tempat berbeda, Benar-benar terbagi dua.
Dan klimaks dari ketidaknyamanan ku ini adalah pada saat menjelang pengumuman kelulusan kami. Ketika itu, seorang sahabat yang sangat ku banggakan melakukan hal yang tidak kupercaya. Diam-diam ia telah setahun menjalin hubungan dengan sesorang.
Sebegitu parah, dan aku tidak tahu. Tangisku benar-benar pecah. Sungguh aku benar-benar tak bisa berbuat apa-apa lagi. Aku ingin mengingatkannya, tapi aku takut, ia akan makin menjauhiku. Karena bagaimanapun pengetahuan agamanya jauh lebih dalam. Lagi pula sahabatku yang satunya lagi, yang sama hanifnya denga dia tak bisa lagi mengingatkannya.
Bagi orang awam yang melihat permasalahan kami, tentu kami yang berusaha menasehatinya adalah dianggap sebagai tokoh antagonis, yang berusaha menghancurkan hubungan orang. Lagipula, Kami tak ingin karena perbedaan prinsip, kami benar-benar putus ukhuwah. Kami yang tersisa hanya bisa mengelus dada.
Hujan takkan selalu mengguyur, mataharipun takkan selalu terik. Bunga takkan selalu indah, terkadang langsung gugur, ataupun berubah menjadi buah. Bumi masih berputar, dan selama berputar itu pula kehidupan yang dinamis akan selalu berubah.
Dulu kami bersahabat, dan sampai sekarangpun aku tetap menganggap mereka adalah sahabat. Mereka orang-orang luar biasa yang pernah ku temui. Meski dulu, kami terbingkai sama dalam satu fikroh, lalu terjadi perbedaan fikroh diantara kami, itu bukan masalah. Toh yang mesti disadari adalah masing-masing punya cara pandang yang berbeda. Dan cara pandangku seperti ini. Meski terkadang iman ku naik-turun, tapi InsyaAllah aku akan selalu berusaha istiqomah.
Sekarang tiga tahun pasca kelulusan SMA, masing-masing kami sudah terpisah jauh, menjemput nasib dengan jalan masing-masing.
Aku rindu mereka, rindu ketika kebersamaan melingkupi kami, rindu ketika kami bersama-sama dalam satu barisan. Ku harap, Allah akan mempertemukan kami kembali dalam suasana yang lebih hangat dan lebih bermakna.
Aku senang pernah mengenal kalian, aku bahagia pernah berjuang bersama kalian. Salam rindu dari hati yang terdalam.
Uhibbukkum Fillah Ya Akhun. Aku mencintai kalian karena Allah wahai saudara-saudaraku.
========================
Rohis SMAN 02 KotaBumi/ SMAN Jalawiyata / SMAN Prokimal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar jika dirasa perlu
Adi Yuza