Kamis, 18 Februari 2016

Tentang Pengabdian

Ada doa yang selalu saya panjatkan setiap kali saya berdoa pada Sang Khalik. Doanya sederhana, "Ya Allah, jadikanlah saya orang yang dapat bermanfaat bagi orang banyak". Terdengar sederhana, klise, dan bagi sebagian orang mungkin terlihat bullshit. Tapi ini sangat penting bagi saya. Mengapa ini penting? Karena hingga kini, saya percaya bahwa sebaik-baiknya orang adalah orang yang bermanfaat bagi orang lain. Cerita kali ini bukan tentang saya, melainkan cerita mengenai orang yang saya temui ketika saya mengikuti Persiapan Keberangkatan (PK) 55 LPDP beberapa waktu lalu. Sangat inspiratif! Cerita mereka semakin membuat saya yakin bahwa masih banyak orang-orang yang bekerja tanpa pamrih demi orang lain. 

Namanya Deddy Riangga Simanjuntak, Orang Batak kelahiran Jakarta. Karena sukunya, Saya memanggilnya Bang Deddy, seperti halnya panggilan yang saya sematkan kepada orang lain begitu saya mengtahui bahwa yang bersangkutan adalah orang dari Sumatera. Bang Deddy adalah seorang dokter lulusan Universitas Indonesia. Pertama kali saya berinteraksi dengan bang Deddy adalah melalui aplikasi obrolan Telegram. Ketika itu, saya terlibat dalam tugas PK di Bidang Pelayanan Kesehatan sebagai asisten dokter yang tugasnya adalah memastikan perlengkapan tersedia saat hari H.    

Orangnya baik dan ramah. Sikap yang meruntuhkan persepsi saya tentang orang-orang lulusan kedokteran. Sebenarnya bukan hanya karena bang Deddy, ada juga dr. Adit, dr. Levana, dan dokter-dokter lain penerima beasiswa dokter spesialis LPDP yang seangkatan dengan saya. Stereotipe bahwa semua lulusan kedokteran itu kaku, hedon, dan angkuh, langsung pupus seketika saat bertemu mereka. Cerita tentang teman inspiratif lainnya insyaaAllah akan saya tulis di kesempatan yang berbeda.

Saat saya menulis ini, bang Deddy tengah tugas di Papua, tepatnya Kabupaten Mamberamo Tengah. Sebuah daerah terpencil di ujung timur Indonesia. Ada cerita menarik dari beliau ketika sedang mengerjakan tugas Pra-PK. Tugas Pra-PK sendiri adalah tugas bejibun yang harus diselesaikan sebelum mengikuti PK. Tugasnya ada banyak, terlalu banyak bagi saya pribadi. Terlebih bagi yang sedang bekerja. Yang harus curi-curi waktu di sela jam kerja, atau terpaksa mengurangi waktu istirahat di rumah demi selesainya tugas Pra-PK. Namun demikian, pada akhirnya kami sadar bahwa ternyata tugas Pra-PK itu akan sangat berguna ketika kelak mengikuti PK dan Pasca PK -salah satunya adalah untuk membuka rekening tabungan-. Tugas-tugas tersebut harus diselesaikan dengan tenggat waktu tertentu dan harus dikirim via surel.

Bang Deddy bertugas di salah satu puskesmas terpencil yang ditempuh kira-kira 2 jam perjalanan dari kantor Pemkab. Dengan kondisi demikian, bisa ditebak seperti apa keterbatasan akses terhadap dunia luar terutama internet. Selama mengerjakan tugas Pra-PK, Bang Deddy harus ke kantor Pemkab untuk mengunduh daftar tugas, lalu pulang ke mess untuk mengerjakan tugas, dan kembali lagi ke Kantor Pemkab untuk mengirim tugas. Ribet? tentu saja iya. Tapi jujur, saya merasa bersalah terhadap diri sendiri yang sering mengeluh ketika mengerjakan tugas Pra-PK, sementara dari segi aksesibilitas dan fasilitas, keadaan saya jauh lebih baik dari bang Deddy.

Suatu hal yang saya salut dari bang Deddy adalah niat dan tekadnya untuk mengabdi di Papua. Bayangkan, betapa mahalnya biaya pendidikan yang harus dikeluarkan untuk lulus menjadi seorang dokter. Tapi setelah lulus, lantas pergi begitu saja. Pergi ke suatu tempat yang jika tujuan utamanya adalah untuk balik modal dalam waktu singkat merupakan sesuatu yang agak mustahil. Yang jelas, persepsi Saya sebelumnya mengenai orang-orang dengan profesi mulia ini terlalu berlebihan, karena Saya hanya membandingkan sedikit sampel yang sikap mereka sangat bertolak belakang dengan dokter-dokter baik yang saya temui. Sedikit sampel yang membuat saya mengeneralisasi secara keseluruhan, dan terbukti salah.

Saya bertanya kepada bang Deddy tentang alasan dia memilih jalan tersebut. Jawabannya sederhana, dia ingin mengabdi kepada orang-orang yang memang sangat membutuhkan tenaga kesehatan. Selain itu, jiwa petualang-nya mungkin ikut andil ketika dia mengambil keputusan tersebut. Saya kemudian bertanya tentang banyak hal; mengenai suka-duka, dan tanggapan keluarga. Perbincangan dengan dokter yang akan melanjutkan studi master di Johns Hopkins University di hari penutupan PK itu kemudian membuka pikiran saya mengenai arti pengabdian secara lebih luas. Kehidupan modern yang cenderung materialistis mungkin telah membutakan mata hati kita untuk melihat bahwa pada dasarnya masyarakat masih membutuhkan karya kita untuk membuat kehidupan mereka menjadi lebih baik di bidang apapun sesuai dengan bidang keahlian kita. Sekecil apapun andil Kita terhadap masyarakat, tentu lebih baik ketimbang sekadar melakukan pencitraan di media sosial.

Masyarakat membutuhkan kerja nyata dari kita, kerja konkret yang manfaatnya dapat dirasakan oleh mereka. Tidak banyak orang-orang yang mampu menempuh pendidikan hingga level universitas apalagi hingga lulus S2. Jika setelah lulus kuliah kita lebih memilih bekerja di perusahaan asing atau perusahaan apapun yang menawarkan gaji besar dan fasilitas yang serba wah, lantas kemana lagi saudara-saudara kita yang membutuhkan berharap? Mereka yang tidak bisa membayar kecuali dengan ucapan terima kasih dan doa yang tulus. Saya sama sekali tidak mempersalahkan apakah lebih baik bekerja di bidang A atau bekerja di bidang B, untuk C atau untuk D. Karena bagaimanapun hal tersebut adalah ranah pribadi. Semua orang pasti memiliki preferensi tersendiri terhadap pilihan mereka. Dan kembali lagi, semua pekerjaan itu baik selama tidak melanggar hukum agama dan negara. Namun yang jelas, di mana pun kita bekerja, pastikan karya kita dapat bermanfaat bagi orang banyak.


Bandung, 18 Februari 2016

Dari dokumentasi pribadi Bang Deddy





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar jika dirasa perlu

Adi Yuza