Mencari
spirit sumpah pemuda
Sabtu, 27 Oktober kemarin Bentrokan kembali
pecah di Lampung. Kali ini, bentrok terjadi antara Etnis Lampung dari Desa Way Anom dan Etnis Bali di Desa Balinuraga. Bentrokan dipicu oleh pelecehan
seksual yang dilakukan sekelompok pemuda
dari Desa Balinuraga. Awalnya, Dua gadis dari Etnis Lampung terjatuh dari
motor. Namun bukannya membantu, pemuda-pemuda itu malah melakukan pelecehan. Kerusuhan ini terus berlanjut hingga tulisan ini dibuat.suatu ironi di tengah peringatan sumpah pemuda.
Kerusuhan di Lampung bukan kali ini saja
terjadi. Sudah sangat sering kita mendengar berita di media nasional mengenai kerusuhan
yang terjadi. Jika kita lihat, maka
hampir seluruhnya adalah kerusuhan antar etnis. Biasanya kerusuhan antara etnis
Lampung-Jawa, Lampung-Sunda, Lampung-Bali ataupun Lampung-Jawa+Bali.
Akar permasalahan di Lampung dimulai sejak
puluhan tahun yang lalu. Terutama ketika dimulainya Kolonisasi Jawa di Lampung
pada zaman Belanda. Kemudian program
kolonisasi ini terus dilanjutkan hingga zaman kemerdekaan, kali ini istilahnya diganti
dengan nama transmigrasi. Hingga kini arus pendatang pun terus mengalir deras
baik karena alasan pekerjaan,
pertumbuhan ekonomi yang cukup bagus, atau bahkan lewat penyerobotan
tanah. Sayangnya, program kolonisasi/migrasi penduduk ini dilakukan tanpa
adanya pemahaman budaya lokal oleh pendatang. Akhirnya, perbedaan-perbedaan ini
menimbulkan gesekan-gesekan yang terkadang menimbulkan percikan api, bahkan
sampai membara antara penduduk lokal dan pendatang.
Kerusuhan di Lampung akan selalu ada jika
benih-benih kecurigaan masih tertanam antara Etnis-etnis tersebut. Apalagi sikap primodial yang makin mengkristal di masing-asing etnik. Sayangnya,
hingga kini tidak ada usaha yang serius dari pemerintah untuk menghentikan bom
waktu yang sewaktu-waktu bisa meledak dan mungkin mengancam integrasi bangsa.
Pemerintah hanya bisa memasang spanduk-spanduk bertuliskan DAMAI ITU INDAH di
semua sudut tempat. Bahkan Spanduk-spanduk itu sebenarnya bukan dibuat oleh
pemda/pemkab, melainkan oleh seorang petinggi TNI di Lampung yang katanya
sedang mencalonkan diri menjadi Gubernur.
Terdiskriminasi
di tanah sendiri
Hingga kini, Bom waktu itu masih terus
aktif. Itulah yang saya rasakan ketika saya masuk ke salah satu komunitas etnis.
Saya orang Lampung, dan saya tahu apa yang orang Lampung pikirkan terhadap
pendatang. Diskriminasi dan Labeling yang buruk selalu diarahkan terhadap orang
Lampung. Di SMA saya dulu, kami sering
diperlakuan yang buruk secara psikis. Hanya karena kami orang Lampung
dan berasal dari desa yang mayoritasnya orang Lampung.
Saya sangat ingat ketika itu kami sedang
menunggu angkot untuk pulang. Lalu datang guru dan menayakan asal kami. Begitu
kami menyebutkan nama desa kami, bukannya ngobrol/basa-basi
selayaknya guru & murid, tapi guru itu langsung mengata-ngatai kami dengan
sangat kasarnya (tak perlu saya sebutkan kata-kata yang mengerikan itu) bukan
hanya guru itu,melainkan beberapa oknum guru juga berlaku demikian. Padahal
ketika itu ,anak dari daerah kami lah yang selalu mendapat juara umum di
sekolah. Perilaku Rasis itu saya rasakan dari saya SD sampai saya lulus kuliah. Parahnya,
pelaku-pelaku rasis itu tak pernah sadar bahwa mereka telah melakukan tindakan
rasisme. Dan yang sangat disayangkan, kebanyakan pelaku-pelaku rasis itu adalah
oknum pendidik, pejabat dan mahasiswa yang seharusnya bisa berpikir lebih
rasional dan objektif. Ketika terjadi konflik, maka orang Lampung selalu
disalahkan oleh orang-orang intelek ini, tanpa pernah mereka melihat pemicu konflik.
Kalaupun mencari tahu, mereka hanya mencari tahu hanya dari sisi etnis
nonLampung.
Adik-adik saya juga pernah mengalami hal
yang sangat rasis seperti itu. Saat itu, di tempat mengaji mereka, terjadi
perselisihan antara anak-anak. Kebetulan yang berselisih itu adalah anak
Lampung dan anak dari etnis lain. Sayangnya, sang ustad bukannya melerai, tapi
malah ikut menghina orang Lampung dengan kata yang tak sepantasnya
diucapkan oleh sang guru mengaji. Adik-adik sayapun diberhentikan dari tempat
mengaji itu.
Dicitrakan
dengan sangat buruk
Teman saya dari Medan
bercerita pada saya, bahwa ketika dia baru sampai Lampung, pamannya berpesan “Jangan bergaul dengan
orang Lampung karena orang Lampung itu Barbar.” Tapi apa yang pamannya katakan
itu langsung pupus dari pikirannya ketika ia kenal saya yang notebane orang Lampung.
Cerita-cerita tentang betapa Barbarnya orang Lampung semakin terdengar ketika
saya tinggal di Kampung yang mayoritas penduduknya adalah Etnis yang kini
paling dominan di Indonesia.
Cerita-cerita bahwa orang Lampung adalah Begal, penjarah, pencuri,
pembunuh, preman, tukang palak, dan segala pelaku kejahatan lainnya sampai
hampir muntah saya dengar. Saya orang Orang Lampung dan tinggal di kampung yang
mayoritasnya orang Lampung, tapi saya tidak pernah menemukan apa yang membuat
mereka paranoid di kampung saya.
Orang-orang pendatang menyebut
perkampungan orang Lampung sebagai daerah Texas. Saya tidak tahu mengapa. Tapi
mungkin karena mereka mengidentikkannya dengan daerah kekerasan. Ketika saya
kuliah dulu, teman-teman di organisasi kemahasiswaan dimana saya bergabung
tidak pernah mau mengadakan kegiatan di daerah-daerah orang Lampung.
Alasannya satu, karena daerah itu masih banyak orang pribumi. Sungguh,
saat itu dada saya sangat sesak rasanya. Jika anda ingin membuktikannya,
tanyakanlah dengan orang yang selama ini berasal dari salah satu etnis yang sering berkonflik
dengan orang Lampung tentang orang Lampung, maka jawaban-jawabannya pasti
sangat memojokkan orang Lampung. Saat anda menanyakan arah/jalan, Jika anda
beruntung, maka anda akan mendapat jawaban, “Jangan ke sana di sana banyak
orang pribumi” atau “jangan kesana, di sana daerah orang pribumi”.
Yang lebih ironis,
pernyataan tidak mengenakkan dengan gamblangnya ditulis oleh salah seorang
mahasiswa yang merupakan petinggi di komisariat organisasi kemahasiswaan yang
bebasiskan agama di akun
facebooknya. Intinya dia
mempertanyakan kenapa daerah-daerah yang mayoritasnya orang Lampung merupakan
daerah rawan dan berbahaya. Bahasa yang ia gunakan sangat tendensius dan
menyakitkan mata saya. sehingga membuat jari-jemari
saya gatal untuk mengetikkan komentar seperti di bawah ini:
###
Pertanyaan yang sama yang diajukkan oleh
orang BARAT terhadap Islam:
Kenapa Islam selalu identik dengan Kekerasan, Pelanggaran HAM, Terorisme,
Poligami, Keterbelakangan? Kenapa orang Palestina bisa sedemikian gila mau
menjadi BOM hidup untuk meneror orang yahudi? Benarkah Islam demikian? sekejam
itu? Teroris? Sebagai Muslim, tentulah kita tidak terima dikatakan seperti itu
karena kenyataannya tidak demikian. Sebagai Aktivis, kita semua tahu, apa yang
membuat oknum islam bisa menempuh jalan kekerasan. Salah satunya karena
ketidakadilan. Tapi apa iya, semua Muslim demikian? Pastinya tidak. Selama ini,
Manusia Modern tidak pernah mendapatkan Informasi yg berimbang. Hal ini mungkin
karena tergantung siapa penguasa informasi/media, dan si penerima informasi
tidak pernah mau tabayyun/cek dan ricek terhadap pihak lain yang selama ini
bersemayam dalam pikirannya sebagai tokoh jahat dan barbar.
Saya berusaha untuk tidak memihak (walau
saya orang Lampung). Ada yang bilang bahwa Transmigrasi adalah
Kolonisasi/penjajahan model baru. Bahkan, kata teman saya, Salah seorang dosen di universitas tempatnya
kuliahmengatakan bahwa Salah satu
suku dominan di Indonesia tak lebih dari Zionis Israel. Kenyataannya, contoh
nyata ini terjadi di Lampung (ini masih kata dosen itu). Saat ini, Suku Lampung
Hanya 25 % dari total peduduk prov Lampung (Wikipedia). Bagaimana dengan
Pendatang? hingga saat ini masih orang luar masih terus berdatangan, merambah
dan mematok lahan-lahan baru.
Contohnya masih terjadi di hutan register 45 Mesuji & Hutan Way kambas. Ribuan orang datang dan
mengkavling-kavling lahan
seenakknya.
Hal yang sama terjadi dengan keluarga
Kakek saya. Kakek saya punya Tanah yang sangat luas, bahkan sangat luas
dari yang pernah saya bayangkan.
Tapi semua itu hilang ketika program transmigrasi terjadi -kayak cerita Avatar
ya, hehehe- . ketika itu Pemerintah yang otoriter memaksakan program
kolonisasinya di Ke-marga-an kami. Hasilnya, datanglah orang-orang baru, dengan bahasa dan adat istiadat
yang berbeda, bahkan terkadang agama yg berbeda. Tapi karena orang Lampung memiliki prinsip Nemui
Nyimah, maka mereka sangat welcome dengan pendatang. Meskipun
tanahnya diambil paksa oleh
pemerintah dan diserahkan kepada koloni. Hasilnya, Hingga kakek saya meninggal,
tak ada sejengkal tanahpun
yang tersisa yang bisa diwariskan kepada anak cucu. Tanah-tanah kakek saya sekarang telah menjadi
kampung-kampung Koloni. (catatan: Hingga kini, Istilah "koloni" masih
sering kami gunakan untuk menyebut daerah transmigrasi). Well, untuk kalian
yang selalu teriak membela Palestina, coba berhenti sebentar, dan tengok ke
dalam diri sendiri. Kalau kalian masih menganggap orang Lampung, Barbar,
bahaya, Jahat, dll, apa bedanya kalian dengan Barat, Amerika dan Israel yang
selalu menganggap Palestina (dan Islam) Barbar, Jahat dan menakutkan. selalu
menganggap Koloni lebih beradab daripada pribumi.
###
Menurut saya, akar dari kerusuhan yang
selama ini terjadi adalah ketidakadilan dan kesalahan sistem yang diterapkan
pemerintah pada masa lampau ketika menerapkan program transmigrasi. Pemerintah
terlalu mengistimewakan pendatang tanpa memikirkan kesejahteraan penduduk lokal
sebagai pemilik tanah ulayat. Selain itu, pemerintah tidak pernah melakukan penelitian
secara sosiologis terhadap budaya lokal.
Seharusnya sebelum dilakukan transmigrasi, terlebih dahulu dilakukan kajian
sosiokultural terhadap penduduk lokal, untuk kemudian disampaikan kepada calon
transmigran. Paling tidak, dengan pemahaman budaya, maka gap antara etnis yang
berbeda ini bisa diperkecil. Sehingga gesekan-gesekan penyebab kerusuhan bisa
diminimalkan.
Salam Damai
Adi yuza
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar jika dirasa perlu
Adi Yuza