Seandainya saya kebagian satu milyar rupiah
dari Hambalang, pikiran itu tiba-tiba mencuat di benak saya ketika menonton
program Indonesia Lawyers Club yang temanya “Dalang-dalang Hambalang”. Dalam
acara itu, Pak Karni Ilyas mengatakan, “Anda tahu seberapa banyak uang 1
triliun itu? Jika perbulannya diambil 1 milyar, maka perlu waktu 72 tahun untuk
menghabiskannya”. Wow, it’s amazing,
bahkan terlintas dipikiran pun tak pernah untuk menghabiskan uang 1 milyar
perbulan. Terus terang, saya tak peduli dengan kasus itu, karena saya
benar-benar sudah muak. Saya hanya berharap azab Allah datang kepada mereka
ketika mereka masih hidup.
Kalimat Bapak pemilik suara serak itu masih
menggelayuti pikiran saya hingga saya terlelap. Seandainya saya dapat uang satu
milyar saja, pasti itu lebih dari cukup untuk saya. Saya bisa membeli rumah yang
saat ini saya kontrak, membuat usaha kost-kostan, rumah makan dan lain-lain.
Bahkan itupun masih sisa. Dan uang yang telah saya pakai itu pun bisa saya
kembalikan lagi dari hasil usaha saya.
Kadang saya heran dengan orang-orang kaya,
kenapa selalu merasa kurang, padahal harta mereka sudah banyak. Pelit untuk
menambah gaji buruh, padahal keuntungan mereka masih sangat cukup jika hanya
untuk menaikkan gaji pekerja mereka ke level yang lebih layak. Entahlah.. dan
saya pun terlelap bersamaan dengan khyalan bercampur keprihatinan itu.
***
Siang ini saya masih sama seperti
siang-siang sebelumnya, galau; sama seperti halnya cuaca yang masih galau di
musim pancaroba seperti ini. Entah berapa kali saya mengalami masa-masa
penggalauan seperti ini, yang jelas sudah tidak terhitung lagi. Yang saya
ingat, masa galau saya tak jauh-jauh dari masalah kuliah yang masalahnya selalu
beranak-pinak dan keuangan yang morat-marit. Pernah saking galau-nya saya karena
masalah skripsi, akhirnya saya putuskan untuk menjauh dari kota tempat saya
tinggal menuju kota kecil yang letaknya
hampir ujung timur Pulau Jawa, Pare.
Alasannya sih untuk belajar Bahasa Inggris, tapi selain itu saya ingin mencari ketenangan.
Alasannya sih untuk belajar Bahasa Inggris, tapi selain itu saya ingin mencari ketenangan.
Di kota kecil yang sempat dicalonkan
menjadi ibukota Kabupaten Kediri itu, saya mencoba menenangkan diri sambil
sedikit mengasah kemampuan bahasa Inggris saya. Kalau ada pembaca yang
bertanya-tanya kenapa saya pilih Pare sebagai tempat umtuk menghabiskan masa menggalau
saya, saya sendiri tidak tahu. Mungkin
karena terkenal sebagai “Kampung Bahasa” atau “Kampung Inggris”-nya, maka saya
pikir, masa-masa galau saya tidak akan sia-sia begitu saja selain dari sekadar
melupakan sejenak masalah di Kampus. Alhamdulillah, selama satu setengah bulan
di sana membuat pikiran saya mulai enak lagi. Hal ini mungkin karena saya
benar-benar tidak peduli dengan masalah yang ada karena saya terlalu sibuk
belajar bahasa inggris dan bertemu dengan banyak orang baru dari berbagai daerah
yang membuat saya makin excited.
Baru saja sampai setelah pulang dari Pare,
masalah rupanya sudah tidak sabar untuk berpelukan dengan ku, sahabat karibnya.
Kakak ku jatuh sakit tepat ketika aku pertama kali menginjakkan kaki di rumah
kontrakan ku. Aku pun langsung mengantarkannya berobat ke Dokter. Sebenarnya
kondisi badan ku sendiri kurang begitu fit karena perjalanan panjang,
melelahkan dan tak tidur sama sekali.
Tidak tidur sama sekali. Ya benar. Keuangan yang (selalu) terbatas memaksa ku untuk harus pintar-pintar mengaturnya. Salah satunya adalah pulang dengan berganti-ganti kendaraan yang serba ekonomis. Mulai naik kereta kelas ekonomi, bis ekonomi, dan kapal laut kelas ekonomi. Konsekuensinya, aku harus awas setiap saat untuk menjaga barang bawaan saya. Usaha penghematan ku setidaknya tidak sia-sia, karena uanganya bisa ku pakai buat biaya berobat kakak ku ke Dokter.
Tidak tidur sama sekali. Ya benar. Keuangan yang (selalu) terbatas memaksa ku untuk harus pintar-pintar mengaturnya. Salah satunya adalah pulang dengan berganti-ganti kendaraan yang serba ekonomis. Mulai naik kereta kelas ekonomi, bis ekonomi, dan kapal laut kelas ekonomi. Konsekuensinya, aku harus awas setiap saat untuk menjaga barang bawaan saya. Usaha penghematan ku setidaknya tidak sia-sia, karena uanganya bisa ku pakai buat biaya berobat kakak ku ke Dokter.
Singkat cerita, kakak ku ternyata terserang
demam berdarah, penyakit yang ketika itu sedang menjadi trending di kota ku. Kondisi yang mengkhawatirkan itu mengharuskan
kami untuk menginapkannya di rumah sakit Ssasta yang cukup mahal untuk ukuran
keluarga kami selama lebih dari seminggu. Sebenarnya keluarga ingin membawanya
ke rumah sakit umum atau rumah sakit swasta yang ada layanan Askes-nya. Tapi
sayang, semuanya sudah penuh karena penyakit yang menyebabkan trombosit
korbannya berkurang dengan sangat drastis ini.
Ujung-ujungnya biaya yang dikeluarkan pun tidak sedikit. Tapi tak masalah bagi kami semua, yang penting orang yang kami cintai bisa kembali sehat seperti sedia kala. Salah satu cara untuk menutupi kekurangan pembiayaan rumah sakit adalah aku harus mengeluakan uang tabungan hasil beasiswa ku. Sungguh, baru pertama kali itu rekening yang sengaja ku buat untuk transfer beasiswa itu meranggas seperti pohun jati di musim kemarau. Tapi sekali lagi, bagiku sama sekali tidak apa-apa, daripada orangtuaku harus meminjam kepada orang lain.
Ujung-ujungnya biaya yang dikeluarkan pun tidak sedikit. Tapi tak masalah bagi kami semua, yang penting orang yang kami cintai bisa kembali sehat seperti sedia kala. Salah satu cara untuk menutupi kekurangan pembiayaan rumah sakit adalah aku harus mengeluakan uang tabungan hasil beasiswa ku. Sungguh, baru pertama kali itu rekening yang sengaja ku buat untuk transfer beasiswa itu meranggas seperti pohun jati di musim kemarau. Tapi sekali lagi, bagiku sama sekali tidak apa-apa, daripada orangtuaku harus meminjam kepada orang lain.
Hari-hari berikutnya aku, otakku tidak
hanya disibukkan dengan bagaimana harus
mengatur uang yang tidak seberapa itu agar cukup, tapi juga bagaimana agar uang
yang akan dikelola itu bisa ada. Karena tidak mungkin mengatur uang yang
uangnya tidak ada. Aku bersyukur kepada Tuhan, karena saat itu ada lowongan
mengajar privat bahasa inggris.
Benar kata orang, dalam keadaan terdesak,
orang bisa melakukan sesuatu yang menurutnya di luar kemampuan dia. Dalam hal
ini, aku yang sama sekali tidak pernah mengajar tiba-tiba punya keinginan untuk
mengajar. Dan (menurutku) aku bisa mengajar. One problem's solved, Sekarang tinggal
bagaimana agar aku bisa mengatur penghasilan yang tak seberapa itu supaya cukup
untuk makan, cetak draft, dan kebutuhan skripsi lainnya. Jujur, sangat jauh dari
cukup, tapi mau bagaimana lagi. Mau minta uang kepada orang tua tak tega
rasanya.
Mengajar privat sudah selesai, uang
honor pun sudah hampir selesai riwayatnya, tapi permasalahan tak pernah ada
surutnya. Kali ini, adikku yang baru lulus SMA tinggal bersamaku untuk bimbel
SNMPTN dan akupun disibukkan untuk pendaftaran wisuda. Kalian tahu sendiri,
keduanya perlu biaya yang tak sedikit. Biaya makan pun otomatis menjadi dua
kali lipat.
Sebenarnya aku yang memaksa adikku
untuk ikut Bimbel. Daripada dia
luntang-lantung tak jelas di kampung, pikirku ketika itu. Setidakknya disini,
dia akan mendapatkan banyak referensi sehingga pikirannya akan lebih terbuka
untuk menentukan masa depannya sendiri. Uang Bimbel yang ku pikir hanya 300ribu
rupiah ternyata sangat jauh dari perkiraan ku.
Aku tak pernah menyangka bahwa bimbel yang goal-nya hanya untuk lulus SNMPTN itu bisa
mencapai 1,5 juta. Mahal sekali!. Lalu akupun pindah ke lembaga bimbel yang
lain. Akhirnya dapatlah yang biayanya 1 juta, yang sesungguhnya masih mahal
menurut ukuran ku. Kepalaku asli berkunang-kunang. Untung aku masih bisa
mengendalikan diri di depan front officer
bimbel itu. Mau ku batalkan, tidak enak dengan adikku. Akhirnya aku melakukan
nego dengan petugas itu, dan pembayaran pun bisa di angsur setengahnya,
ditambah biaya registrasi 100ribu. Sekali lagi, uang 100ribu itu fuckin' out of my expectation.
Besar pasak daripada tiang, dan aku harus
mengatur agar pasak bisa membesar dan tiang bisa mengecil. Caranya, ya aku harus mencari uang sebanyak-banyaknya dan
mengatur pengeluaran semininimum mungkin. Alhamdulillah, Akupun mengajar lagi.
Kali ini aku mengajar anak-anak pintar dari sekolah swasta ternama di kota ku.
Aku membimbing mereka ilmu kebumian sesuai dengan bidang kuliah ku, hal ini
karena mereka akan menghadapi olimpiade sains tingkat propinsi setelah sebelumnya ketiganya lolos dan
mewakili kota.
Waktu kembali berputar, pekerjaanku sebagai
pengajar pun lagi-lagi selesai dan urusan pendaftaran wisuda juga sudah
selesai. Uang honor sebagai pengajar pun lumayan; lumayan pas-pasan. Guru
pembimbing anak-anak itu pun meminta maaf karena menurutnya memberi kurang
layak. Aku sendiri memaklumi, toh tidak
ada kontrak dalam bentuk apapun mengenai berapa jumlah honor yang mesti aku
terima.
Well, Sekarang adalah waktu kosong yang sama sekali tidak pernah ku
sukai. Tinggal menunggu wisuda yang tidak lama lagi. Sembari menuggu waktu yang
bersejarah itu, akupun mengajukkan aplikasi kerja ke beberapa perusahaan.
Harapanku, aku bisa bekerja di perusahaan minyak atau geothermal seperti yang
aku impikan ketika aku masih kuliah dulu. Tapi rasanya sulit sekali, mungkin
karena tidak ada orang dalam yang merekomendasikan, atau tidak ada alumni yang
bekerja di dalamnya, entahlah. Tapi aku
mencoba tetap optimis dan masih berharap banyak kepada Tuhan. Selain perusahaan
minyak, aku juga memasukkan lamaran ke beberapa bank sebagai officer development program dan
sejenisnya.
Terus terang, batinku rasanya mau menangis
saat memasukkan aplikasi itu ke bank. Bagaimana tidak, bank bukanlah minat ku.
Bahkan bekerja di bank sama sekali tidak masuk dalam list ku. Dalam list yang
ku buat, jika tidak bekerja di perusahaan minyak, aku ingin menjadi dosen. Dan
jika keduanya tidak bisa, aku akan menjadi entrepreneur.
Tapi mau bagaimana lagi. Banyak temanku
yang sudah melamar di perbankan dan berkecimpung di dalamnya. Melihat mereka,
mau tidak mau idealisme ku pun runtuh karena
takut dicap sebagai pengangguran. Akupun mulai belajar tentang perbankan dan
segala hal tentang tes yang akan dilalui
melalui buku yang sengaja ku beli. Aku memang hanya coba-coba, tapi bukan
berarti aku tidak serius. Bukankah sebelum melakukan percobaan harus belajar
mengenai teorinya dahulu.
Wisuda tinggal beberapa hari lagi, dan sampai
sekarang belum ada panggilan dari banyak aplikasi yang ku sebar. Yah, mungkin
aku perlu sedikit bersabar dan banyak-banyak berdoa.
Aku
kembali Galau dalam waktu lengang yang pada dasarnya merupakan saat-saat
yang ku benci seperti saat ini. Menurutku, waktu lengang itu berpotensi
melahirkan banyak maksiat. Dan entah sudah berapa banyak maksiat yang ku
lakukan. Ku coba untuk tidak menyia-nyiakan waktu lengang ini dengan menulis
artikel blog ataupun mengotak-atik photoshop. Hobi yang sudah lama aku
tinggalkan dengan alasan sibuk.
Sampai saat ini, khayalan seandainya “kejatuhan
uang secara tiba-tiba” masih sering exist..
ukh..
Update:
Saya berhasil lulus di bank dengan mengalahkan ratusan pelamar. Namun saya putuskan tidak mengambil lamaran itu karena saya tidak minat sama sekali. Saya melamar di beberapa perusahaan minyak tapi karena kesalahan teknis yang saya lakukan, saya pun gagal. Saya pernah mencoba bekerja sama dengan teman sendiri. Dan hasilnya, saya sarankan untuk pembaca agar membuat perjanjian se-profesional mungkin meskipun dengan sahabat dekat sekalipun. Kejadian itu membuat saya mesti jaga jarak dengan dia terutama jika terkait bisnis. Pada akhirnya, saya mendapat beasiswa penuh untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang S2.
Update:
Saya berhasil lulus di bank dengan mengalahkan ratusan pelamar. Namun saya putuskan tidak mengambil lamaran itu karena saya tidak minat sama sekali. Saya melamar di beberapa perusahaan minyak tapi karena kesalahan teknis yang saya lakukan, saya pun gagal. Saya pernah mencoba bekerja sama dengan teman sendiri. Dan hasilnya, saya sarankan untuk pembaca agar membuat perjanjian se-profesional mungkin meskipun dengan sahabat dekat sekalipun. Kejadian itu membuat saya mesti jaga jarak dengan dia terutama jika terkait bisnis. Pada akhirnya, saya mendapat beasiswa penuh untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang S2.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar jika dirasa perlu
Adi Yuza