Rabu, 18 Januari 2012

Pasar Tradisional, dalam ingatan dan realita

Pagi ini ibuku pulang dari pasar. Rasanya sudah lama momen seperti ini tidak kurasakan, rabu pagi menunggu ibu pulang dari pasar dengan keranjang belanjaannya. Aku sudah lupa kapan terakhir kali aku menunggu ibu pulang dari pasar, mungkin sudah bertahun-tahun yang lalu. Namun ada hal yang tak pernah hilang rasanya. Rasa senang ku ketika ibu pulang dari pasar. Rasa antusias ku menyambut ibu dan membawakan barang-barang belanjaannya ke dapur. Rasa yang sama ketika aku masih kecil dulu menyambut ibuku, sambil mencari-cari kue jajanan pasar. Rasa kue-nya masih sama, masih enak. Sama seperti bertahun-tahun yang lalu ketika aku belum mengenal Pizza, Burger, dan makanan Junk lainnya.

Di kampungku, ada dua pasar tradisional, Pasar Rabu dan Pasar Minggu. Seperti namanya, kedua pasar ini hanya buka pada hari Rabu dan Minggu. Kondisinya masih sama, becek dan agak kumuh (mungkin sekarang kondisinya makin parah). Dulu, aku begitu senang ketika hari pasaran tiba, terutama Pasar Rabu karena lokasinya yang cukup dekat dengan rumahku. Menapaki tiap jalan becek di dalam pasar. Menyempil di kerumunan orang orang yang punya kepentingan masing-masing di pasar. dan mencari-cari jajanan pasar yang aku suka. Momen yang paling aku suka adalah, ketika aku menang dalam proses tawar-menawar barang yang aku saat berbelanja di pasar. Yah, proses tawar menawar, hal yang lumrah dan sudah menjadi kebiasaan dalam budaya pasar kita. Sama-sama puas, Sama-sama untung.

Pasar tradisional adalah sebuah metafora bangsa Indonesia. Ketika hari pasaran di tempatku, orang-orang Lampung, Jawa, Ogan, Sunda, Bali, Batak, Padang, akan berkumpul mencari penghidupan. Mulai dari yang bermodal besar, seperti Tukang emas & Penjual pakaian atau yang tanpa modal seperti mereka yang menjual ayam peliharaan atau cabai hasil dari panen di halaman rumah. Ibuku sendiri kadang-kadang menjual kakao hasil panen di halaman belakang. kebetulan di rumahku tumbuh beberapa pohon Kakao.

Di sana aku melihat orang-orang bertransaksi, berkumpul, tawar-menawar. Terkadang aku mendengarkan perbincangan mengenai masalah politik & ekonomi dari kacamata mereka. Yang dalam hal ini, menurutku kami lah sebenarnya objek (atau mungkin korban) dari kebijakan politik pemerintah dan gerakan ekonomi neoliberal, yang mungkin kami sendiri tidak pernah menyadarinya. Meski kami merasakan dampaknya dengan kondisi ekonomi kami yang semakin mencekik


Aku sudah lupa kapan aku memasuki pasar di kampung ku. Kalau pun mengantar, aku hanya mengantar, tidak sampai menjelajah pasar seperti aku kecil dulu. Itupun aku lakukan saat pulang kampung seperti saat ini. Mungkin aku yang terlalu angkuh, yang terlalu terhipnotis oleh Mall, Supermarket, Department Store dan minimarket retail yang sudah menjamur seperti panu yang tak diobati. Aku tak bisa bayangkan, jika semua orang berpikiran sama sepertiku. Bahkan orang kampung sepertiku enggan pergi ke pasar tradisional.

Saat ini pun warung-warung kecil di kampungku hampir punah, termasuk warung yang dikelola ibuku, semenjak Indomaret dan Alfamart menancapkan kuku kapitalisnya beberapa tahun yang lalu. Mungkin hal yang sama akan terjadi dengan pasar tradisional, entahlah.

Seandainya pemerintah concern dengan hal seperti ini, mungkin akan beda ceritanya. Mungkin kita akan melihat pasar tradisional kita yang nyaman, paling tidak untuk dimasuki. Bahkan mungkin bisa jadi tempat wisata yang menarik seperti di Thailand yang juga terkenal dengan wisata pasar tradisionalnya. Tapi sayang, pemerintah tidak membuat suatu regulasi yang berpihak pada pedagang kecil. Kebijakan pemerintah selama ini seolah membiarkan pedagang kecil bertarung dengan Kapitalis dalam arena neolib. Kebijakan yang seperti membiarkan kambing bertarung denga macan di kandang macan.

Aku sendiri tidak tahu mengapa pemerintah lebih mementingkan pengusaha kapitalis, padahal lebih warga negara di repubilik ini yang butuh diayomi pemerintah. Walau tidak diberi modal, paling tidak buatlah kebijakan yang pro rakyat. Mengapa lebih mementingkan ekonomi Makro, padahal sebagian besar dapur masyrakat bangsa ini mengepul karena aktivitas ekonomi mikro. Bukankah yang menyelamatkan Indonesia dari krisis moneter karena geliat UKM.

Mengapa pemerintah kita lebih mementingkan Pencitraan dengan membuat angka-angka seolah-olah kemiskinan turun drastis, padahal nenek-nenek sekarat juga tahu, kalau ekonomi saat ini makin mencekik. BBM naik, dibatasi pula. Harga bahan kebutuhan pokok naik, harga barang naik, bahkan Rok pun naik (mungkin karena bahan kain yg semakin mahal). Sedangkan gaji yang diterima segitu-gitu aja.
Uuhh.. kepala ku pening memikirnya. Kenapa aku jadi sok tau begini.. kenapa malah bahas-bahas kapitalis Neolib? Ya sudah lah, minum kopi saja. Slrrrrrrp...

1 komentar:

  1. gan bsa join follow blog gk nih, koq gk da join sitenya... klw tar pasang. ane follow.. follback jg yaw... thank

    BalasHapus

Silahkan tinggalkan komentar jika dirasa perlu

Adi Yuza