Aku dilahirkan di provinsi ujung Sumatera paling selatan, Lampung. Ditengah keluarga Muslim yang taat. Aku hidup di lingkungan yang hampir seluruhnya Muslim. Hal ini karena tempat tinggalku adalah perkampungan orang Lampung, dan sepengetahuanku orang Lampung pasti Muslim. Kalaupun ada, biasanya pindah agama ketika sudah dewasa.
Masa keciku dilalui seperti anak-anak lainnya, bermain, belajar, sekolah, diajarkan shalat, mengaji, dan aktivitas lainnya. Jarang ketika aku kecil berinteraksi dengan orang non Muslim. Hal ini karena di SD ku dulu seluruh siswanya adalah Muslim. Namun, non Muslim adalah tidak asing bagiku, karena tiap aku ketempat nenekku, pasti melewati kampung transmigran orang Bali yang beragama hindu. Atau, di kampung sebelahku, ada orang-orang Batak dan Jawa yang beragama Kristen. Dan hingga kini, tidak pernah ada konflik yang terjadi. Hal ini karena masing-masing saling menghargai, dan beraktivitas seperti biasa baik itu di pasar, di kebun dll, tanpa melihat latar belakang suku maupun agama.
Ketika kami SD, kami selalu diajarkan untuk bertoleransi antar sesama. Entah itu antar suku maupun agama. Ketika mengaji, kami selalu ditanamkan nilai-nilai akhlak Islami. Dan dirumah, orangtuaku selalu mengajari ku nilai-nilai kebaikan, yang tak lain bersumber dari Al Quran.
Ketika kami SMP dulu,kami pernah mengunjungi teman yang beragama hindu. Ketika itu, umat hindu baru saja merayakan galungan. Ia mengundang kami ke rumahnya untuk makan makan. Awalnya kami hanya makan kue kering dan buah-buahan yang disajikan. Kemudian ibunya keluar dan menyuguhi kami sate dengan bumbu khas bali. Awalnya kami ragu, namun ternyata ibunya melihat keraguan kami dan langsung menjelaskan bahwa sate itu adalah sate ayam dan disembelih di pasar. Semua itu sudah ia persiapkan karena teman kami sudah mengatakan pada ibunya bahwa ia akan mengundang kami. Teman bali ku itu memiliki kandang babi di rumahnya. Kami diizinkan untuk melihat babi-babinya. Aku yang begitu penasaran melihat babi cukup senang waktu itu. Namun, Ia melarang kami untuk dekat-dekat kandang babinya karena ia takut kami akan menyentuh kandang apalagi babi. Ia tahu bahwa babi hukumnya haram dalam Islam.
Ketika SMA, meski tidak begitu dekat, aku makin banyak mengenal orang-orang nonMuslim. Kami berinteraksi seperti biasa. Aku sendiri ikut organisasi kerohanian waktu itu, dan dari situ aku tahu perkembangan dan dinamika umat Muslim baik itu di daerahku, Indonesia, maupun Dunia. Dan pikiran ku makin terbuka terhadap permasalahan-permasalahan yang terjadi khususnya terhadap umat Islam. Kami diajarkan untuk berdakwah disekolah kami, khususnya terhadap teman-teman sesama Muslim yang akhlaknya makin amburadul. Kami berdakwah tidak dengan cara menggurui, melainkan dengan menunjukkan sikap-sikap yang baik. Kami tetap bergaul denga mereka, namun tidak melebur. Dan kami juga diajarkan untuk tetap menghargai orang-orang nonMuslim.
Ketika aku kuliah, aku ikut menjadi anggota aktivis dakwah kampus. Dan aku pernah menjadi salah satu pimpinan Lembaga dakwah kampus di tingkat fakultas. Dan aku juga menjadi anggota lembaga dakwah kampus di tingkat Universitas. Tentu saja dengan begitu, pengetahuan ku tentang Islam dan segala permasalahannya makin luas. Mulai dari sekitaran kampus hingga Palestina. Dari maling sekitar rumah hingga Terorisme.
Aku punya teman, bisa kukatakan cukup dekat. Ia seorang Batak Karo dari Barus Jahe Sumatera utara. Berbeda denganku, ia dilahirkan di keluarga Kristen dan lingkungan orang-orang Kristen. Disekolahnya dulu, hampir semuanya teman-temannya Kristen. Ia merantau jauh ke Lampung untuk kuliah. Kebetulan ketika SPMB, ia jebol di jurusan dan universitas yang sama dengan ku. Awalnya kami tidak begitu dekat, namun lama-lama kami ada kedekatan diantara kami. Ia seorang Kristen yang taat. Namun sama sepertiku yang sama-sama dari kampung, ia masih begitu polos pada awal perkuliahan.
Ia pernah berkata padaku bahwa baru kali ini ia berinterkasi dengan orang Islam. Dulu ketika ia sekolah, hampir tak pernah ia jumpai orang lain selain orang Kristen. Ia baru tahu bahwa setiap waktu shalat, akan ada azan yang berkumandang. Dan ia mulai paham, bahwa umat Muslim ketika bulan ramadhan akan beribadah puasa. Dan ia bisa melihat, bahwa sama seperti perayaan natal dalam Kristen, umat Muslim pun merayakan Lebaran dengan Sukacita dan meriah.
Ia pernah bercerita padaku bahwa ketika baru pertama kali datang ke Lampung, pamannya mewanti-wanti agar jangan bergaul dengan orang Lampung. Kata pamannya orang Lampung itu kasar, keras, jahat dan stereotip negative lainnya. Namun ia berhasil membuktikan bahwa perkataan pamannya sama sekali salah. Terutama setelah ia mengenalku dan beberapa orang Lampung lainnya.
Makin lama kami semakin dekat. Ia sering bertanya padaku mengapa Islam begini dan begitu. Mengapa umat Islam melakukan hal ini dan itu. begitu pula sebaliknya. Sehingga kami bisa saling memaklumi ketika salah satu melakukan aktivitas keagamaan masing-masing. Selebihnya, masing-masing kami selalu menjaga ucapan atau tindakan agar tidak menyinggung salah satu keyakinan.
Terkadang aku merasa agak malu ketika waktu adzan ia mengingatkanku bahwa sudah waktunya shalat dan saya harus ke masjid. Dan aku sendiri,selalu berusaha menyusun agenda kegiatan entah itu kegiatan kampus atau refreshing agar jangan sampai di hari minggu. Kalaupun harus hari minggu, paling tidak sepulang ia dari gereja.
Ia sering bercerita kepadaku mengenai masalahnya, terutama masalah masalah keluarga dan kuliahnya. Dan aku, karena tidak punya uang, aku hanya bisa memberi solusi yang menurutku baik. Begitu juga sebaliknya. Tak jarang, aku menginap di kosannya dan sebaliknya. Dan terkadang, sama seperti mahasiswa kost lainnya, kami sering pinjam-meninjam uang atau numpang makan di salah satu tempat. Ketika salah satu sakit, yang lain datang untuk merawat. Jika berjauhan, kami selalu bertanya kabar masing-masing.
Ia adalah seorang aktivis di luar kampus. Ia seorang pengurus gereja Karo di sini, dan ia juga guru sekolah minggu. Selain itu, ia juga menjadi salah satu pengurus perhimpunan mahasiswa Karo di kota ku. Pernah ia meminta bantuanku untuk menumpang mengetik proposal kegiatannya di tempatku, dan mengoreksi susunan proposal nya. Kebetulan ia tak punya komputer atau atau laptop, sedangkan aku punya laptop. Proposal-proposal itu tak lain adalah proposal-proposal acara natal atau paskah yang dia merupakan salah satu panitianya. Aku dengan senang hati membantu dalam mengkoreksi proposalnya dalam hal kaidah penulisan, sedangkan mengenai substansi proposal aku sama sekali tak ikut campur.Pernah kami jalan berdua, aku memakai jaket organisasi keIslaman ku. Dan dia memakai jaket organisasi keagamaannya. Agak lucu memang, tapi tak masalah.
Saya bercerita seperti ini bukan berarti saya mempromosikan prularisme dalam aqidah. Sebagai Muslim, saya tetap meyakini bahwa agama saya yang terbaik. Begitu juga bagi yang lain, haruslah meyakini bahwa agama yang mereka peluklah yang terbaik. Karena kalau tidak begitu untuk apa mereka memeluk agama itu. Namun bukan berarti keyakinan akan agama menjadikan kita untuk berpikir fanatik sempit.
Saya percaya pada dasarnya, meskipun dalam akidah tak bisa di samakan, setiap agama pasti mengajarkan agar pemeluknya berbuat baik pada sesama. Baik itu sesama pemeluk agama maupun sesama manusia.
Kalaupun ada hal-hal negatif yang dilakukan, itu bukanlah karena ajaran agama, melainkan kemampuan personal dalam menafsirkan dan menjalankan ajaran agamanya.
Selama ini, kita sering berdebat kusir di forum internet, menghina dan menjelek-jelekkan agama satu sama lain, mengorek-orek isi kitab agama lain, padahal kitab sendiri belum tentu kita tahu isinya. Selama ini kita selalu terprovokasi oleh personal yang memang pada dasarnya luar biasa fanatik buta. Cobalah kita Tanya pada nurani, apakah mulia tindakan seperti itu.
Kita juga harus objektif memandang suatu kasus. Jangan sampai gara-gara satu telur di kandang busuk, kita buang seluruh telur, bahkan sekandang-kandangnya sampai induknya kita bunuh.
Kalau ada 100 juta orang Islam yang berfikir bahwa terrorisme adalah jihad, bukan berarti sisanya, kira-kira 1,5 milyar Muslim adalah terroris. Begitu juga kalau ada 100 juta missionaris Kristen fanatik, lalu ada 300 juta orang Kristen yang masih dendam akan perang salib. Bukan berarti sekitar 1.7 milyar sisanya adalah orang Kristen yang penuh kebencian.
Cobalah kita memandang suatau masalah tanpa prasangka buruk.
Perbedaan adalah mutlak pasti ada, namun tergantung kita memandangnya seperti apa. Saling menghargai merupakan kunci, agar harmoni bisa tercipta di bumi ini.
Wallohualam bisshwab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar jika dirasa perlu
Adi Yuza