Rabu, 06 November 2013

Kematian itu...


Hari ini, saya dapat kabar duka lagi. Dan lagi-lagi dari orang yang usianya tak jauh berbeda, sama-sama angkatan 2007 saat kami masuk kuliah.  Padahal, baru seminggu kemarin, saya dapat kabar bahwa adik tingkat saya yang satu jurusan di S1 meninggal dunia. Dan beberapa minggu sebelumnya, saya juga mendapat kabar bahwa adik tingkat  saya di almamater  yang sama meninggal dunia. Penyebabnya pun beragam. Ada yang tenggelam, sakit, dan meninggal begitu saja ketika tidur.

Kejadian yang beruntun ini, kembali mengingatkan saya bahwa kematian itu memang sangat dekat.  Sedekat udara yang kita hirup dan yang kita hembuskan. Ia selalu bersama dengan kita dengan mengikuti ritme aliran darah yang dipompa jantung. Kematian baru akan berhenti mengikuti di saat kita telah mati dan menjadi bagian dari kematian itu sendiri. Bersamaan dengan berhentinya hembusan nafas dan sirkulasi darah.

Saya sempat berpikir bahwa  mungkin kematian itu sederhana. Nafas berhenti dan detak jantung berhenti. Setelah itu kita tidak akan merasakan apa-apa lagi, dikubur, dan kita tidak memiliki urusan lagi dengan apapun itu di dunia ini. Mungkin rasanya akan sama seperti sebelum kita lahir ke dunia ini. Tidak merasakan apa-apa, hampa dan kosong. Sederhana bukan? Bukankah kita baru tahu bahwa kita ini manusia hidup setelah setahun atau dua tahun setelah kita dilahirkan?. 

Tapi ternyata, kematian tidaklah sesederhana itu. Ia begitu kompleks, dan begitu sulit dipahami terutama mengenai kapan ia akan datang. Dan ketika ia datang, apakah kita sudah siap? Sayangnya, entah siap atau tidak, kita tidak bisa mengelak. Kita tidak bisa memajukan ataupun memudurkan meskipun satu detik.

Kematian melibatkan masa lalu, masa ketika mengalami proses kematian, dan pasca kematian.  Kematian adalah perkara ghaib dan misterius. Meskipun ilmu pengetahuan telah dapat mengetahui dan menjelaskan penyebab kematian, entah karena penyakit atau kecelakaan, namun ada banyak hal dari kematian yang hingga kini masih misteri –ini menurut saya-. Sebagai orang yang beragama, saya percaya sepenuhnya dengan apa yang diajarkan agama saya mengenai kematian dan kehidupan setelah kematian. Saya tidak mau menerka-nerka lebih jauh lagi mengenai hal-hal ghaib seputar kematian karena saya memang tidak tahu apa-apa. Cukup agama menjadi pegangan saya ketika menyinggung kematian dan kehidupan pasca kematian.

Kematian di usia muda yang beruntun dalam beberapa minggu ini, kembali mencuatkan rasa kepo saya. Jika seandainya malaikat maut menjemput saya hari ini, apakah ada ilmu yang telah saya tinggalkan? Adakah hal yang membuat orang bisa ingat bahwa saya pernah hidup? Apakah hidup saya sudah bermanfaat untuk orang lain? Apakah dengan lahirnya saya ke dunia ini telah memberikan pengaruh baik terhadap kehidupan? paling tidak terhadap orang-orang di lingkungan saya?  Adakah amal jariyah yang manfaatnya terus mengalir  hingga saya meninggal dunia?

Sejenak saya terdiam dan bermuhasabah diri, sambil mencari-cari jawaban atas pertanyaan rasa kepo saya.  Saya buka file-file yang tersimpan dalam server otak saya, berharap segera mendapatkan jawabannya. Dan hasilnya, saya tidak menemukan apa-apa. Sungguh, airmata ini tanpa diperintah,langsung meyembul dari sudut mata dan perlahan merembes. Ternyata hingga saat ini saya memang belum menjadi apa-apa dan belum berbuat apa-apa. Saya jadi makin malu pada diri sendiri.

Saya selalu kagum dengan Nabi Muhammad, hingga 14 abad semenjak wafatnya, ajarannya masih dipeluk oleh > 1,4 Miliar manusia, Alkhawarizmi yang ilmu algoritmanya masih dipakai hingga sekarang, Isaac Newton yang hukum-hukumnya masih dipelajari, Thomas Alva Edison yang penemuannya masih bisa menerangi rumah di malam hari, serta masih banyak lagi orang—orang  yang telah tiada, namun karya mereka masih bermanfaat untuk umat manusia. Dan hingga kini saya masih menjadi pengagum mereka namun saya belum bisa menjadi seperti mereka. Mudah-mudahan nama saya kelak bisa berdampingan dengan nama-nama orang yang telah memberikan manfaatnya kepada dunia.

Saya terkadang iri dengan mereka yang rela mengorbankan diri mereka demi orang lain. Ada banyak kisah nyata yang terjadi di sekitar saya. Ada seorang ibu yang rela mengorban dirinya untuk melindungi bayinya dari reruntuhan bangunan ketika gempa. Seorang pemimpin organisasi kemahasiswaan yang akhirnya meninggal karena berusaha menyelamatkan anggotanya. Seorang sahabat yang lapar namun lebih memilih memberikan makanan yang ia miliki kepada temannya. Seorang guru yang ikhlas mengajar meski dihimpit oleh berbagai keterbatasan. Dan seorang ayah yang selalu berkata “kamu jangan pikirkan mengenai uangnya, ayah akan selalu berusaha demi kamu”.

Terkadang, kita dihadapkan pada suatu pilihan yang benar-benar sulit. Pilihan yang sampai mempertaruhkan nyawa dan kepentingan kita sendiri bila kita jalani atau penyesalan seumur hidup jika kita abaikan. Mengenai pilihan mana yang akan kita ambil, itu kembali pada pribadi masing-masing.

Mereka yang telah menjalaninya adalah mereka yang dalam kesehariannya adalah orang yang biasa berbuat hal-hal baik. Artinya, butuh proses dan pembiasaan hingga akhirnya bisa timbul sifat yang selalu ingin berkorban untuk orang lain. Mudah-mudahan Allah selalu melimpahkan rahmat, kasih sayang, serta balasan yang jauh lebih baik kepada mereka yang rela berkorban demi orang lain.


**

Kembali ke masalah kematian. Sungguh saya selalu berharap ketika kematian itu datang, ada kontribusi positif yang telah saya lakukan. Entah itu kepada masyarakat luas, ataupun orang-orang di sekitar saya. Meskipun itu bukanlah hal yang besar, paling tidak ada saya telah melakukan sesuatu demi orang lain dan hadirnya saya di dunia ini bukan sekadar omong kosong.

Tak penting seberapa panjang usia kita, yang penting adalah seberapa besar hidup kita bisa bermanfaat untuk orang lain. Orang yang paling sial adalah orang yang umurnya pendek, tapi sama sekali tak ada manfaatnya untuk orang lain.


 Bandung, 5 November 2013








Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar jika dirasa perlu

Adi Yuza