Hari
ini, saya dapat kabar duka lagi. Dan lagi-lagi dari orang yang usianya tak jauh
berbeda, sama-sama angkatan 2007 saat kami masuk kuliah. Padahal,
baru seminggu kemarin, saya dapat kabar bahwa adik tingkat saya yang satu
jurusan di S1 meninggal dunia. Dan beberapa minggu sebelumnya, saya juga
mendapat kabar bahwa adik tingkat saya di almamater yang
sama meninggal dunia. Penyebabnya pun beragam. Ada yang tenggelam, sakit, dan
meninggal begitu saja ketika tidur.
Kejadian
yang beruntun ini, kembali mengingatkan saya bahwa kematian itu memang sangat
dekat. Sedekat udara yang kita hirup dan yang kita hembuskan. Ia
selalu bersama dengan kita dengan mengikuti ritme aliran darah yang dipompa
jantung. Kematian baru akan berhenti mengikuti di saat kita telah mati dan
menjadi bagian dari kematian itu sendiri. Bersamaan dengan berhentinya hembusan
nafas dan sirkulasi darah.
Saya
sempat berpikir bahwa mungkin kematian itu sederhana. Nafas berhenti
dan detak jantung berhenti. Setelah itu kita tidak akan merasakan apa-apa lagi,
dikubur, dan kita tidak memiliki urusan lagi dengan apapun itu di dunia ini.
Mungkin rasanya akan sama seperti sebelum kita lahir ke dunia ini. Tidak
merasakan apa-apa, hampa dan kosong. Sederhana bukan? Bukankah kita baru tahu
bahwa kita ini manusia hidup setelah setahun atau dua tahun setelah kita
dilahirkan?.
Tapi
ternyata, kematian tidaklah sesederhana itu. Ia begitu kompleks, dan begitu
sulit dipahami terutama mengenai kapan ia akan datang. Dan ketika ia datang,
apakah kita sudah siap? Sayangnya, entah siap atau tidak, kita tidak bisa
mengelak. Kita tidak bisa memajukan ataupun memudurkan meskipun satu detik.
Kematian
melibatkan masa lalu, masa ketika mengalami proses kematian, dan pasca
kematian. Kematian adalah perkara ghaib dan misterius. Meskipun ilmu
pengetahuan telah dapat mengetahui dan menjelaskan penyebab kematian, entah
karena penyakit atau kecelakaan, namun ada banyak hal dari kematian yang hingga
kini masih misteri –ini menurut saya-. Sebagai orang yang beragama, saya percaya
sepenuhnya dengan apa yang diajarkan agama saya mengenai kematian dan kehidupan
setelah kematian. Saya tidak mau menerka-nerka lebih jauh lagi mengenai hal-hal
ghaib seputar kematian karena saya memang tidak tahu apa-apa. Cukup agama
menjadi pegangan saya ketika menyinggung kematian dan kehidupan pasca kematian.
Kematian
di usia muda yang beruntun dalam beberapa minggu ini, kembali mencuatkan
rasa kepo saya. Jika seandainya malaikat maut menjemput saya
hari ini, apakah ada ilmu yang telah saya tinggalkan? Adakah hal yang membuat
orang bisa ingat bahwa saya pernah hidup? Apakah hidup saya sudah bermanfaat
untuk orang lain? Apakah dengan lahirnya saya ke dunia ini telah memberikan
pengaruh baik terhadap kehidupan? paling tidak terhadap orang-orang di
lingkungan saya? Adakah amal jariyah yang manfaatnya terus
mengalir hingga saya meninggal dunia?
Sejenak
saya terdiam dan bermuhasabah diri, sambil mencari-cari jawaban atas pertanyaan
rasa kepo saya. Saya buka file-file yang tersimpan
dalam server otak saya, berharap segera mendapatkan jawabannya. Dan hasilnya,
saya tidak menemukan apa-apa. Sungguh, airmata ini tanpa diperintah,langsung
meyembul dari sudut mata dan perlahan merembes. Ternyata hingga saat ini saya
memang belum menjadi apa-apa dan belum berbuat apa-apa. Saya jadi makin malu
pada diri sendiri.
Saya
selalu kagum dengan Nabi Muhammad, hingga 14 abad semenjak wafatnya, ajarannya
masih dipeluk oleh > 1,4 Miliar manusia, Alkhawarizmi yang ilmu algoritmanya
masih dipakai hingga sekarang, Isaac Newton yang hukum-hukumnya masih
dipelajari, Thomas Alva Edison yang penemuannya masih bisa menerangi rumah di
malam hari, serta masih banyak lagi orang—orang yang telah tiada,
namun karya mereka masih bermanfaat untuk umat manusia. Dan hingga kini saya
masih menjadi pengagum mereka namun saya belum bisa menjadi seperti mereka.
Mudah-mudahan nama saya kelak bisa berdampingan dengan nama-nama orang yang
telah memberikan manfaatnya kepada dunia.
Saya
terkadang iri dengan mereka yang rela mengorbankan diri mereka demi orang lain.
Ada banyak kisah nyata yang terjadi di sekitar saya. Ada seorang ibu yang rela
mengorban dirinya untuk melindungi bayinya dari reruntuhan bangunan ketika
gempa. Seorang pemimpin organisasi kemahasiswaan yang akhirnya meninggal karena
berusaha menyelamatkan anggotanya. Seorang sahabat yang lapar namun lebih
memilih memberikan makanan yang ia miliki kepada temannya. Seorang guru yang ikhlas
mengajar meski dihimpit oleh berbagai keterbatasan. Dan seorang ayah yang
selalu berkata “kamu jangan pikirkan mengenai uangnya, ayah akan selalu
berusaha demi kamu”.
Terkadang,
kita dihadapkan pada suatu pilihan yang benar-benar sulit. Pilihan yang sampai
mempertaruhkan nyawa dan kepentingan kita sendiri bila kita jalani atau
penyesalan seumur hidup jika kita abaikan. Mengenai pilihan mana yang akan kita
ambil, itu kembali pada pribadi masing-masing.
Mereka yang telah menjalaninya adalah mereka yang dalam kesehariannya adalah orang yang biasa berbuat hal-hal baik. Artinya, butuh proses dan pembiasaan hingga akhirnya bisa timbul sifat yang selalu ingin berkorban untuk orang lain. Mudah-mudahan Allah selalu melimpahkan rahmat, kasih sayang, serta balasan yang jauh lebih baik kepada mereka yang rela berkorban demi orang lain.
Mereka yang telah menjalaninya adalah mereka yang dalam kesehariannya adalah orang yang biasa berbuat hal-hal baik. Artinya, butuh proses dan pembiasaan hingga akhirnya bisa timbul sifat yang selalu ingin berkorban untuk orang lain. Mudah-mudahan Allah selalu melimpahkan rahmat, kasih sayang, serta balasan yang jauh lebih baik kepada mereka yang rela berkorban demi orang lain.
**
Kembali
ke masalah kematian. Sungguh saya selalu berharap ketika kematian itu datang,
ada kontribusi positif yang telah saya lakukan. Entah itu kepada masyarakat
luas, ataupun orang-orang di sekitar saya. Meskipun itu bukanlah hal yang
besar, paling tidak ada saya telah melakukan sesuatu demi orang lain dan
hadirnya saya di dunia ini bukan sekadar omong kosong.
Tak penting seberapa panjang usia kita, yang penting adalah seberapa besar hidup kita bisa bermanfaat untuk orang lain. Orang yang paling sial adalah orang yang umurnya pendek, tapi sama sekali tak ada manfaatnya untuk orang lain.
Bandung,
5 November 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar jika dirasa perlu
Adi Yuza